Pendakian Bukit Mongkrang
Bivak masih berembun di kaki Mongkrang. Bukit di sebelah selatan Gunung Lawu itu sedang menjadi buah bibir banyak orang. Trek yang tidak begitu jauh, dan waktu tempuh yang relatif lebih cepat, menjadi pilihan para pemula untuk berpetualang. Pagi itu, seduhan teh tertuang dalam nesting jatah pinjaman kawan. Hawa dingin menyerbu bersama angin yang masuk ke dalam bivak. Segera saja seluruh badan bergerak meringkuk kedinginan. Matahari masih sayu malu-malu, itu mengapa dingin begitu menusuk sampai membuat linu.
Sayup-sayup terdengar segelintir orang berbicara di sebuah pondokan. Rombongan yang berjumlah empat orang, rupanya dua pasangan yang lagi senang mencari tempat memadu kasih. Agak risau melihatnya. Maklum, namanya juga alam terbuka, takut kalau aneh-aneh terjadi. Atau mungkin itu hanya alibiku menutupi sepinya hati yang sudah berjalan beberapa tahun ini. Kaos kaki tebal terpasang, masuk ke dalam sepatu gunung pemberian seorang senior. Setelah itu kurapikan bivak yang kacaunya sudah seperti USS Nimitz saat ada pesawat landing.
MELINTAS POS-POS
Usai melewati gapura pendakian, jalan seperti tak ramah lagi bagi lutut-lutut yang jarang berolahraga ini. Tanjakan demi tanjakan bergerak, melewati rintangan yang kadang licin. Tanah liat mengerumuni alas kaki. Seperti rindu yang ranum saja di waktu malam hari, berkerumun di kepala ini. Segera kutemui lagi pendaki yang turun. Saling menyapa menjadi hal lumrah terjadi di setiap pendakian. Seperti sudah menjadi etika bagi para pendaki. Kabut pagi itu sudah dipukul mundur hangatnya mentari. Jadi panas tubuh juga mulai naik. Keringat terasa turun, melintasi leher ke dada, haus menyerang. Vedples berstempel TNI di pinggang segera ku raih dan langsung ku tenggak. Air segar dari kaki Lawu tidak pernah bohong, seperti mengajakku untuk lebih bersyukur atas apa yang alam suguhkan. Setiap pos sudah terlewati, tibalah pada jalur terakhir menuju puncak yang makin menanjak. Lutut ini sudah mulai berdemonstrasi, jadi mungkin pelan saja berjalan. Malu, bekas tim SAR yang pernah ikut operasi kok berhenti hanya karena njarem.
Dekat pos 2 |
ANUGERAH DI PUNCAK
Setengah jam berlalu, sembari mendengarkan provokasi lutut yang terus menyerang akhirnya tiba di puncak. Disana, telah tersaji sebuah palang dengan keterangan “Bukit Candi” yang selalu ramai menjadi tempat foto anak muda seumuranku. Waktu menunjukan pukul 10.00, tapi pagi itu puncak agak sepi. Duduk dibawah sebuah pohon, lalu keluarlah kompor kecil dengan segala perlengkapan dapur dadakan. Telur goreng, dan nasi acakadul ala-ala pasukan komando saja sudah cukup mengisi perut yang mulai keroncongan. Hanya sekitar satu jam duduk termenung menikmati indahnya alam semesta, pikiranku sudah mengajak untuk mengungkapkan segalanya. Sedikit berfoto untuk kenang-kenangan, dan secarik ertas berisi puisi baru sudah cukup untuk ku bawa pulang.
Selesai sudah semuanya, kini tinggal menghabisi turunan-turunan curam yang sebelumnya adalah tanjakan nakal. Di tengah perjalanan pulang, burung srikatan dan jalak terbang beriringan bersama koloninya. Mereka nangkring di pohon kering bekas tersambar petir. Sampai dibawah, seperti lunas segala piutangku pada Mongkrang. Indahnya pemandangan kanan kiri, ramah tamah para pendaki, dan juga ekosistem alam yang tidak pernah bisa dipungkiri. Sayangnya, dibalik indahnya mereka masih sering ku temui sampah-sampah di jalur pendakian. Entahlah, sampah mungkin akan menjadi peninggalan bersejarah bagi peradaban di masa depan. Duduk di pondokan, dan lelap membawaku pada mimpi indah bersamamu.
Post a Comment