Jambore Nasional XI 2022
Dok.Pribadi |
Lama tak singgah di Gubuk Berkisah. Sebuah blog berisi catatan penting nggak penting milik saya yang sudah vakum hampir 5 bulan ini. Tentu bukan tanpa sebab kenapa blog gratisan ini meliburkan diri. Informasi perhelatan akbar Jambore Nasional ke-11 sudah tergaung sejak tahun lalu, dimana virus watuk dan pilek itu masih agak tinggi di negara ini. Tentu sebagai pembina muda saya tak lupa mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti seleksi pertemuan besar Pramuka yang diadakan di Jakarta pada bulan Agustus. Itulah mengapa blog ini menjadi lebih sepi daripada biasanya.
Mentari menyambut, wajah dan mata mengantuk serta rokok dan kopi hangat menemani saya menuliskan semuanya. Tepatnya 24 jam usai kepulangan saya dari Jambore Nasional ke-11. Entah apa yang membuat jari tergelitik menuliskan banyak momen unik, baik pada saat persiapan hingga pelaksanaan keberangkatan kontingen di Jamnas tahun ini.
Awal kisah bermula dari ajakan seorang senior yang juga merupakan staff di cabang untuk ikut mendampingi kontingen Jambore Nasional. Sebagai alumni jambore sebelumnya, tentu kesempatan ini adalah sesuatu hal yang tidak mungkin bisa saya acuhkan. Selayaknya tradisi dalam organisasi “kenthos”, seorang kakak tentu akan mengajarkan sesuatu pada adik-adiknya. Berangkat dari pengalaman, akhirnya berjalanlah masa persiapan dan latihan pemantapan sejak Juni lalu.
Dok. Pribadi |
Peserta tahun ini hanya berjumlah 16 orang, tidak sebanyak angkatan saya dulu. Tantangan terberat dalam membina generasi rebahan yang skip 2 tahun dari perkemahan adalah membangunkan mental kemandirian dan beranjak dari gaya hidup individualistik yang makin masif terasa di jaman yang serba pake “e-“ (mbuh e-toll, e-sports, e-mail, e-thok ethok turu).
Pelatihan yang hanya berdurasi selama 2 bulan lebih sedikit ini memang cukup menantang dan menguras pikiran. Ini masih ditambah dengan tuntutan pusat yang mengharuskan peserta didik sebagai Pramuka Garuda. Beuhh, ini menjadi satu hal yang saya kurang suka. Kesan formalitas mulai tercium disini. Ya meski begitu saya yang cuman untul bawang ini tentu nggak bisa mengelak, lagian itu juga dari sono-nya. Tapi yang jelas saya tidak tinggal diam. Meski terkesan tergesa-gesa, siapapun yang berani memasang tanda Pramuka Garuda memang harus digembleng supaya layak memakainya.
Waktu yang singkat itu dihabiskan dengan persiapan fisik, logistik, kemampuan dasar, dan juga kemampuan penunjang lainnya agar nantinya siap dalam mengikuti kegiatan yang sak abreg mbuh akeh e di Jambore Nasional. Segala persiapan itu semata-mata hanya untuk “njagani” agar adik-adik tidak kaget saat harus menghadapi kehidupan berkemah yang tentu punya faktor resiko.
11 Agustus 2022, usai berpamitan, kontingen segera utiwi menaiki si “tayo” ke Cibubur via tol Trans Jawa. Sesampainya di Jakarta pada keesokan harinya, tugas saya waktu itu adalah dropping perlengkapan ke kapling kemah. Kontingen Solo tidak pernah berubah, selalu ditempatkan di Sub Kemah 4 yang posisinya memang agak belakang dan jauh dari lapangan utama. Sore di hari pertama, air Tuhan turun menyapa perkemahan. Permulaan yang bagus untuk belajar di alam terbuka. Sama seperti peribahasa kawan-kawanku di golongan penegak, “Kemah nek ora udan, ora kemah”.
Hari pembukaan berjalan cukup lancar, meski banyak peserta kecewa karena tidak jadi dibuka oleh Presiden. Suasana upacara jadi sedikit agak wagu, karena Kamabinas berhalangan hadir membuka perhelatan akbar Pramuka ini. Usai pembukaan, sepasang kaki ini membawa saya untuk mampir ke kafetaria, tidak jauh dari lapangan utama. Segelas kopi dan roti semir terhidang, meski memang harganya tak semurah di kota kelahiran. Sebatang rokok ditawarkan oleh Kak Rumi, seorang pelatih dari Maluku. Tak lama kita berbincang cukup asyik kesana kemari sembari menghabiskan abu di tangan.
Dok.Pribadi |
Hari demi hari berlalu di bumi perkemahan. Disinilah sebenarnya peserta melatih diri, bersosialisasi, dan belajar untuk tidak menjadi pribadi individualistik. Menemukan kesadaran bahwa nyatanya manusia itu tidak ada yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Tidak seperti film Chuck Norris yang dengan sendirian bisa menjadi “Lonewolf” menghabisi musuh-musuhnya, atau seperti Sylvester Stallone yang tanpa kawan menjadi “Rambo” melawan Vietcong.
Harapan saya sebagai pendamping hanya ingin mereka menjadi generasi yang tidak letoy, lemah mental juang, atau bahkan terlalu manja dengan banyaknya sarana pendukung di sekitar mereka. Menjadi pandu berarti belajar bertahan dalam berbagai kondisi. Seperti layaknya pasukan komando, seorang pandu tidak cepat panik, ia tahu harus berbuat apa dan tetap tenang dalam kondisi di bawah tekanan.
Minggu malam, akhirnya kami se-kontingen tiba kembali di kota bengawan. Senyum sumringah orangtua peserta tampak dari wajah-wajah mereka yang harap-harap cemas ditinggalkan anaknya berkemah 10 hari. Melihat fenomena itu, pikiran saya jadi mengenang waktu dulu masih menjadi peserta. Jaman masih lugu dan ra mudengan, hehehe.
Tengah malam saya menjadi orang terakhir yang pulang dari Kwarcab. Seusai memesan taksi online, gerbang sanggar tertutup kembali dalam kesunyian.
Perut sudah berbunyi, waktu sudah agak siang. Tak terasa gelas sudah mengering dan abu rokok sudah mau habis. Sepertinya kisah petualangan Jambore tahun ini harus selesai sampai disini, daripada saya harus menguntal obat maag kembali. Sampai jumpa diperjalanan yang lain, salam kenthos!
Post a Comment