Mereka Yang Suka dan Rela

 

Sumber : dok.pribadi

Sekumpulan orang berseragam jingga berbaris rapi di bawah tower tinggi. Wajah kisut dengan keringat mengalir deras dari sekujur badan, sembari menanti giliran. Siang itu pendidikan dasar sudah memasuki hari terakhir. Peralatan lengkap tersaji rapi bak jamuan makan malam mewah. Mulai dari karmantel statis, sepasang ascender, croll, helm, carabiner, dan tidak lupa webbing yang selalu ada di setiap latihan ketinggian. Rappeling, prusiking, ditambah sedikit materi lowering serta metode penarikan menjadi materi yang kritis dibacarakan. Sebagian barisan lain mendapat tes dasar tali temali dari pelatih. Sisanya hanya mengantri sambil di jemur di bawah tower.

Menjadi relawan, pada mulanya memang tidak banyak yang benar-benar bercita-cita untuk itu. Kebanyakan dari mereka bergabung secara tiba-tiba dan tidak pernah dipikirkan jauh sebelumnya. Resiko yang tinggi, dan tanpa asuransi. Sudah jelas betapa beratnya beban yang harus ditanggung seumpama terjadi suatu hal buruk. Mereka tidak seperti pegawai Basarnas atau BNPB yang memang di gaji oleh pemerintah. Tugas mereka istimewa, bahkan tenaga mereka selalu mendominasi di setiap operasi bencana. Hari demi hari, silih berganti tiap waktu. Sebagian mulai beristirahat, sebagian lain maju menggantikan. Seperti alami saja terjadi, regenerasi yang terus ada.

Pernah suatu ketika, sekumpulan anak muda kepanduan yang baru selesai mengenyam pendidikan dasar relawan maju bertugas bersama banyak komunitas. Berharap memberi terbaik dalam pengabdian masyarakat. Mereka, seperti kebanyakan relawan, bahkan menyisihkan uang untuk membeli peralatan dan alat pelindung diri penunjang tugas. Sebagian lain bahkan menghibahkan kendaraan untuk operasional, rumah sebagai basecamp, dan banyak bentuk-bentuk donasi lain untuk ikut aktif dalam kegiatan relawan.

Mereka bukan orang kaya yang punya uang berlimpah. Banyak dari mereka berpenghasilan tidak tetap. Terkadang jumlah lembaran dolar di dompet lebih sedikit ketimbang niat mereka untuk menolong sesama. Pernah ada cerita, seorang relawan pergi ke medan bencana dengan uang pribadi selama berminggu-minggu untuk menolong masyarakat yang sedang tertimpa musibah, meski jaraknya ratusan kilometer dari rumah. Pola pikir unik dan aneh ini mungkin sulit dipahami orang-orang awam. Tapi bagi mereka yang pernah atau sedang melakukannya, mungkin sudah lumrah bila semua itu terjadi. Orang-orang ini sering menyebut “tentara langit”, kata mereka. Entah apa maksudnya, mungkin sebuah motivasi untuk lebih semangat menolong sesama. Untung dan rugi adalah hal yang tabu dibahas disini. Sebuah kebodohan bila menanyakannya di dunia relawan.

Lalu untuk apa ikut relawan, bila tidak ada untungnya (materi). Bahkan asuransi pun tidak ada? Pertanyaan dilematis yang selalu muncul oleh orang awam kepada para sukarelawan. Biasanya mereka hanya menjawab, “Ya mungkin ini yang namanya panggilan hati. Rejeki kami adalah kesehatan, fisik yang prima, dan niat hati yang masih kuat. Panggilan untuk menolong sesama, tanpa berharap balas jasa”. Sudah siapkah Anda untuk menjadi sukarelawan?. Hehehe, Tidak ada kepastian akan hal ini, biarkan suara hati yang akan membalasnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.