Ekstrakurikuler Wajib Pramuka, Relevankah?
Sumber : FB Old Scouts Indonesia |
Konten Opini
Menjadi seorang anggota kepanduan Pramuka, bagi sebagian orang mungkin adalah beban atau bahkan hanya sekadar hal yang "wajib" ketika duduk di bangku sekolah. Semenjak sekolah dasar pelajar Indonesia telah familiar dengan Gerakan Pramuka. Masuknya Gerakan Pramuka ke dalam sistem pembelajaran dinilai mampu mendongkrak perubahan karakter siswa dan memberikan pendidikan karakter semenjak dini.
Meski secara pribadi penulis kurang setuju dengan program pemerintah yang memasukkan gerakan kepanduan Pramuka masuk ke kurikulum sekolah sebagai ekstrakurikuler wajib. Kata "wajib" ini secara tidak langsung merujuk kepada sesuatu yang mengikat dan harus dilakukan sehingga ini melanggar asas dasar kepanduan yaitu sukarela. "Kalau semua anak lelaki dan perempuan menjadi pandu, yang amat bangga adalah saya. Tapi, saya tidak merasa bangga jika mereka terpaksa atau dipaksa menjadi pandu. Indahnya keanggotaan pandu datang atas kemauan mereka sendiri, kehendak mereka sendiri dan kalau kehendak itu dipaksakan maka arti kepanduan akan sirna, bukan kepanduan lagi." demikian ucapan Baden Powell yang tercatat dari Konferensi Kepanduan Sedunia 1937 di Sheveningen, Den Haag, Belanda. Hal ini sudah jelas bahwa kegiatan ekstraklurikuler wajib Pramuka merupakan sesuatu hal yang melanggar asas kepanduan.
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler wajib Pramuka yang bertujuan membentuk pendidikan karaktek bagi pelajar, justru realitanya tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Berbagai ketimpangan sering terjadi, khususnya sumber daya manusia pengajar atau pembina Pramuka. Kekurangan pembina ini disiasati dengan dibukanya kursus-kursus mahir dasar bagi guru-guru di satuan pendidikan sesuai golongan kepramukaan. Namun, kursus-kursus yang diadakan ini lama kelamaan hanya menjadi sekedar formalitas dan tidak semua lulusannya memiliki tanggungjawab atas pembinaan. Hal ini diperburuk dengan adanya tambahan nilai bagi karier guru pegawai negeri bila mengikuti kursus pembina Pramuka, sehingga banyak yang mengejar kursus pembina mahir dasar hanya untuk memenuhi syarat karir.
Fenomena yang muncul ini bahkan sampai memunculkan sebuah anggapan, "banyak lulusan KMD, tapi tidak banyak pembina yang betul-betul Pramuka". Kursus-kursus yang hanya menjadi formalitas ini makin tampak dampaknya ketika terjadi keteledoran pada saat pelaksanaannya. Menengok kejadian hanyutnya peserta didik saat susur sungai di Sleman beberapa waktu yang lalu adalah contoh nyata keteledoran satuan pendidikan dalam memastikan kompetensi pembina Pramuka yang ada di pangkalannya.
Pada akhirnya, program ekstrakurikuler wajib ini tidak terlaksana maksimal karena unsur kewajiban yang merujuk pada keterpaksaan. Ekstrakurikuler wajib ini juga bertentangan dengan misi merdeka belajar yang digaungkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Merdeka belajar adalah sebuah misi yang bertujuan pada kebebasan mempelajari semua hal yang tak terbatas sesuai minat masing-masing peserta didik. Selain itu, melalui merdeka belajar ini juga, diharapkan mampu membentuk sebuah potensi-potensi kembang pelajar yang selama ini terbatas hanya pada beberapa mata pelajaran.
Jadi, bila muncul pertanyaan “masih relevankah ekstra wajib ini?” mungkin akan masih menimbulkan berbagai macam gejolak khususnya di tubuh internal Pramuka itu sendiri. Namun bila melihat dari asas dasar dan pandangan Baden Powell sebagai pendiri kepanduan , serta misi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan menciptakan kemerdekaan dalam belajar, tentu hal “wajib” ini sudah tidak lagi relevan.
Post a Comment