Catatan dari Prambanan : Belajar dari Sang Guru Alam, Bersahabat dengan Hujan dan Panas

Kemah Budaya di Buper Rama Shinta, Prambanan Rabu 3 Mei 2023-Jumat 5 Mei 2023. (Foto: Istimewa)

GUBUKBERKISAH.MY.ID
- Sepasang roda motor tua berkendara keluar rumah pagi itu. Tak seperti biasanya dimana mata membuka, layar komputer menyambut bahagia. 

Usai persiapan telah siap, tanpa menyantap sesendok nasipun kaki melangkah berangkat mendampingi pandu-pandu muda itu berkemah. 

Kabut dan dingin pagi kembali kurasakan, setelah beberapa bulan bangun pagi tampak seperti buaian. Ya, lagian juga waktu kerja lebih siang, biasanya saya bangun jam setengah 7 atau bahkan lebih siang.

Sebelum bendera berkibar pada pukul 06.00, tubuh ini sudah sibuk menyambut wira-wiri segala persiapan yang akan diangkut menuju bumi perkemahan. 

Sebagian anggota Dewan Penggalang nampak telah tiba. Singkat cerita, matahari makin naik menunjukkan kharismanya. Ratusan orang berkumpul melepas kepergian anak-anaknya. 

Saya melihat, lha kok ya o, seperti mau berangkat Satgas saja. Wajar, anak-anak veteran Covid itu baru kali pertama menancapkan pasak dan tali pancang tenda. 

Berbeda dengan generasiku yang sudah lebih dulu familiar dengan lumpur dan debu tapak kemah, mereka jauh kurang jam "tempur" untuk masalah kemah. 

Itu pula yang menjadi tantangan seorang Pembina di masa damai usai berperang dengan virus "watuk pilek" yang menyebalkan itu. 

Upacara pemberangkatan usai, pandu-pandu itu lantas segera bergerak menuju bus-bus yang telah terparkir di halaman sekolahan. Suasana pagi itu, mendadak seperti terminal, penuh gerangan suara mesin-mesin berderu. 

Tak perlu waktu lama untuk mencapai bumi perkemahan. Sebuah situs tua bernama Prambanan itu memang punya lahan terbuka yang bisa disinggahi untuk berkemah. 

Sengat panas matahari bak menampar, meski senyum dan tawa masih lantang terdengar dari anak-anak itu. 

Mendadak berdirilah sebuah "perumahan" baru. Tenda-tenda berjejer bagaikan kamp-kamp pasukan dalam cerita perang. 

Setelahnya, doa diucapkan bersamaan membuka perkemahan. Makan siang cukup enak hari itu, santapan yang perlu disyukuri manakala ribuan manusia di luar sana pun tak merasakan kemewahannya. 

Berlanjut menuju kegiatan pertama, pandu-pandu muda tertantang oleh halang rintang. Berjalan sedikit jauh sebagai sebuah pemanasan, penuh tawa menikmati setiap tantangan. 

Bila mau sedikit berpikir lebih dalam, kegiatan ini punya makna filosofis agak dalam. Saya mengira (dan semoga saja tidak salah), permainan ini menyadarkan mereka untuk mengenal betul bagaimana hidup di dunia yang keras. 

Meski dibaluri sukaria, tantangan tetap tantangan. Tak jarang sebagian dari mereka gagal, tak jarang pula kesuksesan menyertainya. Persis sekali dengan bagaimana jalan kehidupan berlangsung. 

Hujan menyapu sorenya, kuasa alam bertindak melatih generasi muda. Batinku hanya berkata, "biarkan saja hujan ini turun, lagi pula rejeki dariNya". 

Kepanikan dan keriuhan mulai muncul, tenda-tenda tersapu air bagai ombak menyapu pasir pantai. Ambruk satu persatu tatkala menahan angin dan derasnya air hujan. 

Pandu-pandu itu menepi di bawah sebuah ruang kecil, disana ratusan dari mereka kemudian berteduh. Sekilas mata melihat, erangan dan tangisan, sekilas lain memandang senyum dan tawa. 

Ini persis seperti bagaimana manusia harusnya. Ada yang menerima, ada yang tak suka, dan begitulah dunia bekerja. 

Ada yang ingin pulang, ada yang terus tegak bahkan bercanda riang gembira. Dalam tradisi kepanduan kami, dikenal lagu "Apa Guna Keluh Kesah", nah, anak-anak yang riang gembira itu sepertinya memegang prinsip lagu ini (mungkin). 

Baju basah kuyup, jas hujan saya bahkan tak kuat menahan derasnya air. Saya jadi ingat kenangan di Sekipan tahun 2014, semasa saya seumuran mereka. 

Hujan badai sore hari, medan lebih menantang lantaran di kaki Gunung Lawu. Suhu udara berada di rentang 20 derajat. Entah kenapa waktu itu saya dan kawan-kawan lebih banyak yang haha hihi daripada nagis disana sini (bacut los mungkin). 

Saya melihat indikator udara berdasarkan laporan BMKG dan aplikasi cuaca di gawai. Suhu udara relatif normal untuk kota, ya, lagian Prambanan bukan dataran tinggi. 

Hujan mereda usai magrhib. Tapi ibarat kamp diserbu, semua peralatan dan pasukannya sudah terlanjur kalang kabut. Pandu-pandu muda itu kemudian membersihkan diri dan tidur di pendapa museum. 

Mungkin akan jadi pengalaman tak terlupa bagi mereka, semalam tidur bersama arca-arca dari jaman kerajaan Jawa. Makan malam juga istimewa, soto hangat. Wah mewah sekali!. 

Keesokan paginya, terang sinar matahari kembali menyengat. Pandu-pandu itu mulai melakukan "renovasi" pada tendanya. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan berpetualang. 

Senyum sukaria kemudian muncul di mata mereka, meski tak sedikit juga tepar karena tak kuat menahan panasnya senyum mentari. 

Sedikit mengamati (dan ini mungkin opini), ada saja pasti dalam sebuah perkemahan, pandu dengan fisik yang masih baik namun lemah mentalnya. Pandu model seperti ini biasanya sakit tak seberapa tapi akting luar biasa. 

Kedua, mereka dengan fisik terbatas, namun semangat melebih TNI saat sedang tugas. Pandu model begini ini saya suka, tapi daripada tepar di tengah jalan dan memperparah keadaan, saya rasa lebih baik berisitirahat di posko saja. Meski kemudian hari (seringnya) akan di cap sebagai "Korps Pasukan Bodrex". 

Hujan juga menghajar sorenya. Pada hari kedua ini, hujan tak beda dari hari lalu. Tapi saya melihat, pandu-pandu itu tampak sudah terbiasa. 

Kakinya sudah akrab dengan keriput kedinginan, tubunya sudah kenal dengan basah dan becek hujan. Sebagian lain bahkan bisa lelap sekalipun beralaskan tumpukan tas dan bajunya. 

Inilah pendidikan kepanduan, Sang Guru Alam sedang mengajar!.

Seorang pelatih saya pernah berkata, "Guru sejati para petualang adalah alam; hujan, angin, dan dingin membentuk kebiasaan, panas dan gerah menguatkan,".

Usai hujan agak reda, kaki-kaki mereka dipaksa untuk berjalan agak jauh. Bagai pasukan infantri, dalam banjar bergerak menonton sebuah kisah Ramayana. 

Tak lama usai lakon selesai, hangatnya api unggun menyambut lelah. Mata-mata sayu dan tubuh yang loyo karena diserbu air dari langit dua hari lamanya jadi bersemangat. 

Alas plastik dan terpal tak menjadi masalah. Lagu-lagu gembira dinyanyikan dan lidah api menyulut menyambar ke udara. Radiasi panas dirasakan, senyum gembira muncul dari wajah mereka. Api sudah menyala!

Bagaikan pasukan pulang dari perang, wajah mereka penuh kemenangan, seakan-akan berkata, "Dua hari pertempuran telah kumenangkan, api unggun menyambut hati kemerdekaan". 

Malamnya, mereka kembali meringkuk bersama arca. Tidur lebih cepat dari biasanya, usai kemenangan berhasil diraih. 

Paginya, tenda-tenda mulai dibereskan. Tapak kemah kembali seperti semula, penuh hamparan hijau rumput-rumput mempesona. 

Upacara sederhana terselenggara, menutup lelahnya 3 hari berguru dengan semesta. Tak lama, bus-bus besar memasuki lingkungan sekitar lapangan. Kaki-kaki mulai kembali, meninggalkan bumi perkemahan. 

Suasana bus penuh dan sesak akan oleh-oleh berisi kisah mereka yang akan selalu dikenang. Lelah memang tampak, namun pengalaman baru mengisi. 

Kepulangan menjadi yang dinanti, sekaligus dirindukan. Berterimakasihlah pada Sang Guru Alam, gempuran air hujan dan syukur telah diberikan "ketidaknyamanan" adalah mata kuliah abadi yang tak ada di perguruan tinggi manapun. Salam Pramuka!.***



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.