Hujan Saat Kemah Ditolak, Hujan Saat di Rumah Ditunggu-tunggu

Ilustrasi hujan saat kemah. (Foto: Istimewa)


GUBUKBERKISAH.MY.ID- Hujan pada dasarnya adalah gejala alam yang umum dipahami manusia. Khususnya saat berkegiatan di alam terbuka, cuaca menjadi hal yang sangat dinamis dan susah diterka.

Meski begitu, tak semua orang mampu menerimanya. Bahkan, pada sebagian besar pangkalan yang mengadakan kemah, sejauh yang saya temui, selalu anti-anti pada hujan bila sedang menyelenggarakan kemah.

Lantas, mengapa pada menolak air dari langit tiba? Padahal hujan (diyakini) bentuk rejeki dari Yang Maha Esa? dan bukankah tenda adalah bentuk covering (dalam ilmu penjelajahan) yang merupakan bentuk mitigasi bila terjadi hujan untuk melindungi diri?. 

Beberapa kawan saya yang juga Pembina turut berkomentar masalah hujan saat kemah. Sering ditemui gerutu  "jangan dulu hujan" dari para pandu bila mendung sudah mulai menghitam. Bahkan, tidak jarang, ada saja pangkalan yang sampai harus mengundang "avatar" pengendali hujan agar kemah tetap lancar. 

Sepertinya Pramuka masih banyak yang belum bisa berdamai dengan hujan. Alasan utamanya jelas, takut acara batal. Tapi tidak adakah alternatif acara lain pada saat hujan mengguyur? 

Ijinkan saya beropini. Semisal api unggun harus batal karena hujan mengguyur, para pandu akan segera masuk ke dalam tenda mereka. Biarkan mereka bersosialisasi, dan bercengkrama di dalam tenda dengan regunya. 

Biarkan mereka bertahan di bawah guyuran hujan, dengan segala masalah yang mungkin terjadi. Ini akan memaksa mereka berpikir (dalam regunya) mempertahankan tenda (yang notabene rumah mereka sementara waktu). Dengan demikian, kemampuan problem solving Pandu akan berkembang seiring kondisi dan situasi yang menekan mereka. 

Tenda fematex (yang umumnya dipakai oleh Pramuka) atau tenda prisma, sejauh pengalaman saya hanya dapat bertahan 30 menit-60 menit bila hujan intensitas sedang. Selebihnya, air akan mulai merembes. Itu belum ditambah faktor lain bila berada di kemiringan, atau kontur tanah yang cenderung berada di lembahan. 

Perkirakan juga (apabila berada di daerah datarang tinggi) arah angin, khususnya angin lembah maupun angin gunung. Amati pergerakannya, pada waktu apa, dan bagaimana seharusnya menyiapkan skenario terburuk. 

Daya pikir dan pengamatan seperti di atas, bukan karena saya sudah mencapai tingkat Pembina atau lulus Kursus Mahir Dasar. Teori tersebut saya dapat saat masih penggalang. Pengamatan akan gejala alam, dan deteksi dini, sekaligus persiapan mitigasi bukanlah hal yang bisa dikuasai hanya dengan teori. 

Dalam hal ini, praktek memegang peran kunci sebesar 80 persen. Jadi, bagaimana tanggapan saya bila ada hujan mengguyur saat kemah? Sudah jelas, biarkan pandu itu masuk ke dalam tenda. Seberat apapun hujan deras mengguyur. 

Skenario evakuasi baru akan dilakukan dengan catatan : 
1. Tenda terkena air bah/tergenang/kebanjiran
2. Tenda rusak dan tidak bisa digunakan sama sekali (sobek hingga tak bisa lagi diapakai atau terbakar)
3. Dekat dengan ancaman bahaya (pohon tua, pohon rapuh, aliran air, jalur hewan liar, dsb) 

Mengenai tempat evakuasi, bisa ditentukan oleh Pembina (demi kepentingan mempermudah pengawasan) dan atau pandu yang menentukan sendiri (dengan catatan dapat dipercaya dan tidak berada di tempat yang jauh dari jangkauan). 

Praktis, hujan tidak menggagalkan acara. Saya menyebutnya sebagai "acara pendadakan" dan itu juga merupakan mata pelajaran yang diajarkan dalam pendidikan kepanduan. Alam bertindak mengambil alih peran pengajar. 

Mungkin rundown seharusnya api unggun, tapi alam punya skenario lain. Ia ingin mengajar langsung para pandu dengan hujan.

Argumen saya ini pernah ditentang oleh kawan saya sesama Pembina dalam sebuah diskusi sore di sanggar. 

"Bagaimana jika fisik para pandu tidak kuat? Bagaimana jika sakit? Bagaimana kita bisa mengatakan pada orangtuanya?"

Saya menjawabnya dengan penyusunan materi dan menu latihan jauh sebelum perkemahan. Perkembangan fisik harus diamati secara berkesinambungan oleh seorang Scoutmaster (Pembina). 

Sehingga, materi latihan sebenarnya tidak sekedar berkutat pada teori dan praktek Scouting Skills, tapi juga tentang kedisiplinan untuk menjaga stamina, daya tahan tubuh, dan memperkirakan sebarapa kuat tenaga atau "baterai" yang dimiliki per individu. 

Dalam Kursus Mahir Dasar (sebuah kualifikasi bagi Pembina Pramuka tingkat dasar, atau Basic Scoutmaster Course) kita (sebagai pembina) sama-sama mendapat pelajaran mengenai karakteristik individu pada masing-masing golongan.

Karena saya adalah seorang Pembina tingkat dasar untuk golongan Penggalang, maka subjek pengamatan saya adalah anak-anak pada usia 11 sampai 15 tahun. 

Pada rentang usia tersebut, anak-anak mulai ingin tahu akan banyak hal. Mulai ingin mencoba-coba hal baru, dan haus akan tantangan. Mereka juga sudah mengalami pubertas, tetapi belum mengenal diri secara mendalam. 

Dalam hal ini saya anggap berpengaruh juga pada tingkat ketahanan fisik usia Penggalang. Mereka tidak seperti Penegak atau Pandega yang cenderung sudah bisa mempertimbangkan hal bagi diri sendiri. 

Usia Penggalang adalah masa-masa semangatnya anak-anak untuk mencoba hal baru. Kadangkala, mereka lupa pada batas-batas daya tahan fisik diri sendirinya. 

Upaya terbaik agar fisik mereka tetap prima, adalah dengan menyelipkan materi latihan Scouting Skills dengan selingan olah gerak fisik.  Salah satu bentuk mudahnya seperti latihan simpul tali temali dengan lari estafet, dimana untuk dapat melanjutkan ke etape berikutnya, seorang pandu harus menyelesaikan terlebih dahulu sebuah simpul. 

Anda bisa membuat beberapa etape, dimana pada masing-masing checkpoint dapat diberikan tantangan berbagai macam bentuk simpul. Contohnya etape 1 simpul mati, lanjut berlari ke etape 2 simpul pangkal, dan seterusnya. 

Hal ini akan membuat perkembangan fisik anak secara tidak langsung ikut terlatih. Itu masih merupakan contoh kecil dari upaya mengembangkan daya tahan tubuh mereka, disamping memang terus harus diingatkan terkait pentingnya berolahraga dan menjaga pola makan. 

Kesimpulannya, hujan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Hujan juga bukan setan, ia tiba untuk membuat padi-padi di sawah mekar dan kita bisa makan nasi dengan enak. Hujan juga membuat yang tandus menjadi subur. 

Hujan bukan halangan bagi Pramuka untuk terus bekegiatan, dan ini yang saya pegang selama ini bahwa "hujan dan panas adalah rejeki, hujan menyirami tanaman, panas membantu mereka memasak, sesederhana itu untuk menerima berkah Yang Maha Esa". 

Jadi, jangan ragu dan jangan takut untuk berkemah. Panas adalah sahabat, hujan adalah kawan. Berdamailah pada keduanya. 

Akhir kata, ijinkan saya mengutip kata-kata Baden Powell yang sangat terkenal dan jadi salah satu pedoman saya dalam menjalani hidup. 

"Pandu tidak pernah kebingungan, seorang Pandu tersenyum dan bersiul dalam semua keadaan,"
Salam Pramuka!.***




Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.