Menjadi Pembina Pramuka adalah Sebuah Keputusan untuk Tidak Pernah Berhenti Belajar

Penulis ketika mengikuti ToT di Kwartir Daerah Jawa Tengah. (Foto: Istimewa)


GUBUKBERKISAH.MY.ID- "Untuk apa jadi Pembina Pramuka?". Saya mengawali dengan sebuah pertanyaan yang kerab menghampiri waktu senggang saya bersama teman-teman. 

Sebagian kawan saya menyebut bahwa keputusan saya menjadi seorang Pembina (bukan sebagai guru sekolah formal) kurang worth it. Wajar saja, anggapan seperti itu sangatlah pragmatis, umum sekali dan tentu semua tahu bayarannya tidak seberapa. 

Keputusan saya mengambil Kursus Mahir Dasar pada tahun 2020 lalu berawal dari rasa gatal dalam batin melihat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan kepanduan. 

Sebagai pandu yang baru saja bergabung selama 11 tahun di organisasi Pramuka, tentu saja saya sangat gerah mendengar banyaknya orang mencemooh kegiatan berhasduk ini. 

Saya paham betul, Pramuka punya lebih banyak haters daripada fans. Toh kalau ada fans, itupun tak seberapa.. Saya saja nggak ngefans, saya ikut Pramuka ini karena passion (hauwah kemaki sekkk...). 

Salah satu headline yang kerab saya angkat dalam diskusi bersama rekan-rekan sesama Pembina adalah masalah Pramuka Wajib di sekolah formal. 

Satu hal yang harus diketahui, Pramuka atau kegiatan kepanduan adalah sebuah bentuk pendidikan non formal. Asas dasar kepanduan sudah jelas sukarela dan non politis. 

Berdasarkan pengamatan saya dan berulang kali menemui sejumlah kasus, adanya Pramuka Wajib di sekolah-sekolah formal cenderung tidak berdampak maksimal dengan apa yang menjadi tujuan awal, "pembentukan karakter". 

Fun fact, saya adalah pembina yang tidak setuju akan program Pramuka Wajib di sekolah. Satu alasan yang jelas adalah karena bertentangan dengan asas. 

Adanya Pramuka Wajib ini, bisa jadi adalah sumber awal mengapa menurunnya minat sekaligus kualitas Pembina di pangkalan. 

Saya sering menemui peserta KMD (Kursus Mahir Dasar Pembina) menjadi korban surat tugas. Sebagian lain bahkan ikut KMD hanya demi karir dan masalah kenaikan pangkatnya. 

Persentase mereka yang memang passion sebagai Pembina tidak banyak.Saya amat sedih melihat fenomena ini. 

Pernah suatu waktu saya harus membuat konten untuk akun YouTube sebuah kwartir. Modelnya seorang Pembina yang katanya baru lulus KML (Kursus Mahir Lanjutan) dan menjadi pembina terbaik di tingkat daerah. 

Bukannya sukses membikin konten, saya dan kru lain harus pusing bikin konsep dan mengajari si doi soal penggunaan kompas untuk dijelaskan pada konten itu. 

Lah, katanya pembina terbaik?

Dari situ saya belajar, bahwa ijazah saja tidak cukup untuk membuktikan keahlian seseorang. Lebih-lebih pada bidang yang memang sangat berkaitan erat dengan keterampilan. 

Piagam, ijazah, dan sertifikat itu bagus, tapi sekaligus mengandung tanggung jawab moral. Ya kali lulusan komando pasang brevet nggak bisa terjun payung? Lucu kan?. 

Sama halnya di Pramuka. Sertifikat setinggi apapun harus disertai skill yang mumpuni, yang sesuai, yang tidak hanya based on theory. 

Orang mungkin bisa certified sebagai pilot, tapi kalau nggak pernah terbang, lha kek mana jam terbang di dapat?. 

Banyak yang puas usai menuntaskan sebuah kursus, tapi mereka lupa bahwa lulus dari kursus sejatinya baru awal dari sebuah proses belajar yang tak pernah berhenti. 

"Belajar dan mengajar itu bukan murid belajar guru mengajar, murid bisa jadi mengajar, guru ikut belajar,". 

Saya agak lupa ungkapan itu dari siapa, tapi yang jelas sangat related!. Dear kakak-kakak pembina yang maunya cuman dapet ijazah kursus, please deh, jangan berpuas diri hanya karena merasa "tinggi" ijazahnya. 

Saya akan sangat bangga bila anak didik saya lebih bagus melampaui saya, tapi jangan lupa, sebagai pembina juga harus terus berlatih, berlatih, dan berlatih. 

Sadari betul bahwa menjadi Pembina Pramuka, adalah sebuah tuntutan untuk selalu belajar. Saya saja malu tidak bisa menghapalkan sandi morse (meski pernah sukses hanya bisa mengirim sinyal SOS) dan belajar dari anak didik saya. 

Akhir kata, jangan cepat puas. Baden Powell dalam bukunya yang berjudul Aids to Scoutmasterships (1919) menyebut bahwa seorang Scoutmaster (Pembina) adalah role model bagi para pandu. 

Kalau Pramuka Inggris saja punya role model se-keren Bear Grylls, masa sih kita nggak mau semaju mereka?. Salam Kenthos!.***


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.