Datang dan (perlahan) Hilang : Ironi Pramuka Peduli Solo, Akankah Berlanjut?
Foto bersama Angkatan I dan II usai Diksar 2019 di Basarnas Pos SAR Surakarta. (Foto : Istimewa) |
“Setitik bakti lebih bermakna
daripada sejuta kata”
Kutipan kalimat di atas saya sadur
dari buku karya Aditya Wisaksono alias Kak Tyo, seorang pelatih di Pusdiklatda
Jawa Tengah yang kemudian hari dijadikan semboyan relawan Pramuka Peduli di seluruh
wilayah Kwarda 11. Hal lain yang menarik
dalam buku tersebut yakni cover-nya yang menampilkan aksi Pramuka Peduli Solo
saat membantu pemadaman di sebuah pabrik beberapa tahun lalu.
Buku yang terbit pada tahun 2021 itu seakan menyiratkan betapa hebatnya prestasi Pramuka Peduli Solo sebagai satuan relawan penanggulangan bencana yang eksis di wilayah Kwarda 11 sehingga footage aksinya dapat menjadi sampul buku yang berhasil edar di kalangan Pramuka Jawa Tengah. Ya, betul. Kami pernah bersinar.
Saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk kembali ke belakang. Namun sebelumnya, saya perlu ingatkan bahwa tulisan ini adalah opini saya sebagai orang yang pernah menjadi saksi dari timbul dan tenggelamnya satuan relawan kebanggaan Pramuka Solo, Pramuka Peduli.
Kisah dimulai pada pertengahan tahun 2017, yang kala itu saya masih berstatus sebagai Penegak. Seorang kakak tingkat menawari saya untuk bergabung dalam sebuah satuan relawan yang bergerak di bidang penanggulangan bencana. Saya yang tadinya sudah bergabung di Saka Wira Kartika akhirnya mengiyakan ajakan senior itu.
Waktu itu, Krida Penanggulangan Bencana di Saka Wira Kartika tempat saya bernaung belum terbentuk. Setidaknya saya ingin mencari wadah yang mampu menyalurkan hasrat keinginan untuk membantu sesama.
Bukan ingin jadi sok jago atau pahlawan, panggilan hati saya sebagai relawan muncul secara tiba-tiba tanpa tujuan yang jelas pada awalnya. Singkat kata saya pun bergabung.
Kegiatan Pramuka Peduli Solo kala itu masih sebatas kegiatan sosial yang standar-standar aja. Tidak bersinggungan langsung dengan penanggulangan bencana. Yang ada malah hanya bagi-bagi sembako, dan nasi boks.
Di tahun yang sama pula, Diksar Angkatan Pertama (2017) dilaksanakan. Sayangnya, saya tak berkesempatan mengikuti latihan pembentukan itu lantaran harus mengikuti kompetisi Pramuka di Wonogiri. Eman sekali rasanya, padahal hati ini ingin sekali mengikuti pendidikan dasar tersebut.
Angkatan pertama pun terbentuk. Tokoh-tokoh dari Pramuka Peduli Solo pun mulai bermunculan. Sudah seperti biasa dalam dunia Pramuka, setiap kali lahir angkatan baru di sebuah satuan maka tokoh-tokoh dominan pun juga ikut muncul.
Nama-nama seperti Defano, Aris, Jiwo, Khonsa, Bagas, dan lain-lain hadir memberi warna baru dalam geliat Pramuka di Kwarcab Kota Surakarta.
Usai angkatan pertama itu dibentuk, rupanya sempat terjadi perdebatan di kalangan internal Pramuka Peduli itu sendiri. Hal itu menyangkut sejarah dan pendirian awal satuan yang lahir prematur ini.
Sejumlah pihak mengklaim bahwa Pramuka Peduli Solo sudah ada, jauh sebelum Diksar tahun 2017. Pada bagian ini, saya sendiri juga masih belum bisa mendapatkan data valid terkait bagaimana sebenarnya Pramuka Peduli itu muncul di Kota Solo.
Sebagian menyebut sudah ada sejak meletusnya Gunung Merapi pada 2006, sebagian lain menyebut Pramuka Peduli lahir terbarukan pada 2017. Entahlah siapa yang benar, yang jelas kami generasi baru waktu itu berjanji untuk menghidupkan Pramuka Peduli sebagai satuan penanggulangan bencana yang berkualitas dan tangguh.
Ditunjuklah Pak Riptono, seorang guru yang juga merupakan Andalan Cabang di Kwarcab Solo menjadi Komandan Pramuka Peduli tahun 2017.
Pada masa awal pembentukan di tahun 2017 ini, dari 50 siswa yang mengikuti pendidikan dasar hanya menyisakan lusinan Pramuka yang masih mau untuk membangun Pramuka Peduli.
Itulah mengapa pada medio 2017 hingga akhir 2018, kegiatan Pramuka Peduli Solo masih belum secara langsung terjun ke dunia penanggulangan bencana dan hanya berkutat sebatas pada bantuan logistik dan pengamanan (ini saya sendiri juga bingung, bukankah itu tupoksi Saka Bhayangkara?).
Saya akhirnya berkesempatan untuk mengikuti pendidikan dasar angkatan kedua pada Desember 2018. Diksar saya waktu itu bertempat di Basarnas Pos SAR Surakarta. Kira-kira cuman 2 Km sebelah barat rumah saya.
Materi MFR (Medical First Responder), Vertical Rescue (meski cuman rappeling, ascending, dan mechanical adventage), dan sistem SAR saya dapatkan selama kurang lebih 48 jam.
Ada momen unik saat saya mengikuti pendidikan dasar ini. Seperti biasa sebagai siswa yang memang agak "mbeling" saya kerap melakukan perembesan alias colut keluar wilayah latihan.
Saya bersama Madjid (yang kemudian hari dikeluarkan dari Pramuka Peduli lantaran melakukan pelanggaran) pelan-pelan berhasil menembus pos depan dan menenggak es teh dan sebatang rokok kala itu.
Naas saat kembali dari perembesan, aksi kami diketahui seorang (yang kami kira) pelatih. Posturnya masih cukup tegap dengan wajah yang tentunya sudah tak muda lagi. Rambutnya yang agak jarang dengan sepatu PDL ber-marking logo SAR Nasional semakin menggentarkan kami berdua dengan raut wajah yang tak sedap dipandang.
"Kenapa kalian keluar?! Bukannya ini masih jam latihan?!," ujar pelatih misterius itu.
Saya dan Madjid hanya bisa tertunduk lesu sembari menyimpan es teh plastik di belakang badan.
"Buang itu, kembali ke kelasmu!," tegasnya.
"Siap!," teriak kami berdua.
Usai Diksar, kami kemudian tahu kalau pelatih misterius itu ialah Pak Ari Kristyono. Komandan Pramuka Peduli baru yang menggantikan Pak Riptono.
Angkatan kedua pun menghasilkan 40 lulusan yang cukup bersemangat untuk terjun ke dunia relawan. Namun sayang, lagi-lagi hanya lusinan manusia saja yang benar-benar aktif.
Saya dan rekan-rekan se-angkatan pun berinisiatif untuk kumpul di sanggar. Dari obrolan yang santai malam hari itu, kami bersepakat untuk mengadakan piket siaga dan memberanikan diri untuk menolong warga apabila terjadi kecelakaan atau gejala kebencanaan.
Meski begitu, kendala dalam keterbatasan informasi dan laporan kebencanaan menjadi tantangan berat di awal. Inisiatif kami pun didukung oleh angkatan pertama, yang kemudian menyarankan untuk memantau grup Facebook informasi warga kota.
Dengan peralatan yang terbilang masih miskin dan tidak ada, respon bencana kami lakukan pertama kali pada akhir tahun 2018. Kala itu waktu mendekati tengah malam saat seorang personel mengabarkan adanya kebakaran di SPBU Kadipiro.
Kami pun bergegas berangkat menuju lokasi. Sesampainya di tempat, sedikit pun kobaran api tak tampak di hadapan mata. Bahkan petugas SPBU juga masih ketawa ketiwi sembari mengisi tangki konsumen.
Tak lama berselang, banyak juga relawan yang akhirnya ikut merapat. Namun setelah tiba di lokasi, semua tahu bahwa laporan tersebut adalah berita hoax alias palsu.
Cerita mengenai "kapusan info" itu kemudian menjadi tanda dimulainya aksi Pramuka Peduli Solo dalam melakukan pengabdian masyarakat di bidang penanggulangan bencana.
Post a Comment