Gubuk Berkisah

Gubuk Berkisah

Kerunyaman-kerunyaman Ini Sejatinya untuk Apa?

Orang-orang gila itu bernama Pramuka Peduli Solo. (Foto: Linggar Mahez/dok.pribadi)


Karmanye Vadikaraste Mafalesu Kadatjana

GUBUKBERKISAH.MY.ID- Malam yang cukup dingin menyapu hawa langit di Kota Solo saat sepasang tangan ini kembali berucap dalam kalimat-kalimat. 

Berbulan-bulan kira-kira lamanya, saya hampir lupa "menghidupi" blog ini. Kesibukan, atau mungkin serangan badai mager belakangan ini membuat saya agak kurang produktif untuk menulis. 

Sampai badai itu cukup mereda, justru benak bertanya atas sesuatu yang selama ini saya lakukan. Menambahkan kerunyaman dari pita sebelumnya yang belum terurai di pikiran. 

Memasuki tahun ketujuh saya menjadi "abdi dalem masyarakat" via organisasi berhasduk ini, rasa-rasanya hal-hal runyam bin jelimet semakin ora karuan melanda. 

Sebagai orang yang didapuk untuk ikut "ngingu" markas lewat kepengurusan (sekalipun jabatan saya itu rendah bin powerless) tentu saja saya berjuang mati-matian untuk membela anggota di lapangan. 

Kadang kala, para pesohor dan tuan-tuan berhasduk itu lupa jika personel kami adalah garda terdepan yang beraksi secara nyata membantu masyarakat. 

Tujuh tahun berdiri mandiri, dengan perhatian tanggung (setengah-setengah) dari kwartir memang menjengkelkan. Saya kadang agak was-was ketika personel terjun ke lapangan saat operasi bencana maupun operasi SAR. 

Bayangkan saja, mereka ini orang-orang gila yang tak dibayar, mempertaruhkan nyawa, bahkan berani mencukupi perlengkapan yang dibeli dengan uang sendiri.

Jangan bertanya masalah jaminan atau bahkan gaji, asuransi saja cuma mitos bagi mereka. Pada prinsipnya memang agak bonek (bondo nekat) kami ini. 

Kerasnya medan tugas di lapangan, resiko tinggi yang selalu menghantui, hingga direndahkan oleh banyak pihak (sekaligus internal kami) karena dianggap cuma "anak-anak Pramuka"sudah kenyang dirasakan. 

Namun sekali lagi karena memang "orang gila", kami terus mengabdi, membuktikan diri, menggenapi Dasa Dharma dan Trisatya sebagai janji kami. 

Meski memang, mulut kami kotor dan kerap bercanda agak gelap. Percayalah bahwa anak-anak Pramuli tidak seburuk yang Anda bayangkan. 

Kadang kala saya juga merasa bersalah, secara tidak langsung "melibatkan" mereka ke dalam perjuangan melawan kebobrokan internal organisasi berhasduk ini. 

Sekalipun mereka dengan senang hati dan suka rela ikut berjuang, tetap saja ada beban yang ikut saya tanggung karenanya. 

"Kerunyaman-kerunyaman akan perjuangan selama ini, sejatinya untuk apa?," ucap kawan saya. 

"Kamu tidak mendapatkan apa-apa (secara materil), kamu bahkan kehilangan, lantas kenapa terus melanjutkannya? Bukankah ini sudah keterlaluan? Kenapa tidak kamu keluar dan masuk ke organisasi lain yang lebih bisa menghargai anggotanya? Kenapa?," begitu kira-kira benak pikiran ini mencobai saya. 

Pertanyaan seperti itu juga dilontarkan seorang mentor saya dari wilayah plat R. Seorang komandan yang juga ikut prihatin mendengar kabar kondisi Pramuka Peduli Solo. 

"Itu wes gak sehat,, uwes wayahe koe metu. Iku amburadul. Nyong wae ora ngasi kaya kuwe! Uwis kebangeten jih kuik," sebut Kang AC. 

Sejatinya saya sendiri juga mulai mempertimbangkan untuk berhenti atau berpindah rumah karena kerunyaman ini. Mencari organisasi relawan lain yang lebih bisa menghargai anggotanya. 

Tetapi sekali lagi, suara hati saya mendorong penuh saya untuk tetap bertahan. 

"Selesaikan hingga masa jabatanmu usai di tahun berikutnya. Tuntaskan. Setidaknya saya menyelesaikan tanggung jawab saya dengan penuh, tak seperti pesohor-pesohor babi itu!," begitu saya rasa. 

Kemana langkah kaki akan berjalan usai pekatnya rimba menghambat laju mu? Maka saya akan gunakan pisau pandu untuk membuka jalur sejauh yang saya bisa. Jika ada yang bertanya untuk apa, maka tidak alasan tepat untuk itu. 

Senior berkata, "lakukan saja, tak perlu suka".*** 



 





Posting Komentar

0 Komentar